menu

Jumat, 02 Desember 2016

TANGGUNG JAWAB TERHADAP DIRI SENDIRI KELUARGA, AGAMA DAN NEGARAR


A.     Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri
Setiap manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggung jawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas. Dengan demikian, setiap orang islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa di dasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Maka dari itu setiap manusia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri yaitu menentukan kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Sehingga dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. Menurut sifat dasarnya manusia adalah mahluk yang memiliki rmoral, tetapi manusia juga merupakan makhluk yang pribadi. Makhluk pribadi adalah manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, cita-cita sendiri, dan sebagai perwujudan dari pendapat, perasaan dan angan-angan itu manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan, kekeliruan, baik yang sengaja maupun yang tidak. Tanggung jawab terhadap diri sendiri di antaranya, jujur terhadap diri sendiri, menjaga kesehatan dan kesejahtraan mental dan fisik, menjaga keseimbangan hidup, mengenali kekuatan  dan kelemahan diri, menilai diri secara rutin, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak diri sendiri, menjaga seluruh yang terdapat dalam diri, serta menggunkan anggota tubuh sesuai dengan kegunaannya.
B.     Tanggung Jawab Terhadap Agama
   Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung jawab langsung terhadap Tuhan. Sehingga dikatakan tindakan manusia tidak lpas daei hukuman hukuman Tuhan. Yang diruangkan dalam berbagai kitab suco melalui berbagai macam agama. Pelanggaran dari hukuman hukuman  tersebut akan segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika perungatan yang keraspun manusia masih juga tidak menghiraikan maka Tuhan akan melakukan kutukan. Sebab dengan mengabaikan perintah perintah Tuhan. Berarti menginggalkan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan terhadap Tuhan sebagai penciptanya. Bahkan untuk memenuhi tanggungjawabnya manusia harus berkorban.
Contoh : setiap manusia wajib melaksanakan kewajiban nya mejalankan agama yang dipercayai nya, karena itu merupakan tanggung jawab dirinya terhadap Tuhan.  
C.     Tanggung Jawab Terhadap Keluarga
Setiap muslim wajib bertanggung jawab terhadap keluarganya, suami memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak istri dan anak-anaknya, begitupun sebaliknya seorang istri mempunya keharusan untuk memelihara suami dan anak-anaknya. Islam memberikan tanggung jawab yang begitu agung kepada keluarga baik dia seorang ayah maupun ibu untuk memberikan pendidikan, pengetahuan, dakwah dan bimbingan kepada anggota keluarga. Pembinaan yang demikian inilah yang akan menyelamatkan dan memberikan penjagaan kepada diri dan keluarga sebagaimana perintah Allah :
                                          
                                                           يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَ
ةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS at-Tahrim : 6 )
Seorang suami wajib melindungi, memelihara dan menjaga keluarganya dengan pendidikan dan akhlak yang mulia serta memberi nafkah. Nafkah  yaitu harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Quran.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Seorang istri juga mempunyai keharusan untuk menjaga suami dan anak-anaknya dari hal-hal yang melanggar syariat islam, serta memelihara harta dan kehormatan keluarga sebagaimana yang di ajarkan oleh agama islam.
D.         Tanggung Jawab Pemimpin Negara
Seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyat dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat, maka ia harus bisa menjaga dan melaksanakan amanat tersebut, jika tidak ia tidak akan merasakan harumnya surga, apalagi merasakan kenikmatan menjadi penghuni surga.
حـديث معقـل بن يسـار عن الحسـن أنّ عبيد الله بن زيـاد عـاد معقل بن يستار في مـرضه الّذي مـات فيه , فقـال له معقل : اني محـدّثك حـديثـا سمعته من رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم . سمعت رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم يقول : مـامن عبد استرعـاه الله رعـيّة فـلم يحـطّهـا بنصيحة الاّ لم يجـد رائحة الجـنّة ( أخرجه البـخـاري في كتب الأحـكـام, بـاب من استرعي رعـيّة فـلم ينصـح )
Artinya: Al-hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma'qal ibn Yasar R.A ketika ia sakit yang menyebabkan kematianya, maka Ma'qal berkata kepada Ubaidilah Ibn Ziyad "aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadith yang telah aku dengar dari Rasulullah SAW, aku mendengar nabi bersabda: tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik maka Allah tidak akan merasakan kepadanya harumnya surga. (dikeluarkan oleh imam Bukhori dalam kitab Hukum bab orang yang diberi amanat kepemimpinan).[1]
Seorang pemimpin bukanlah manusia yang bebas berbuat dan memaksakan kehendaknya dan kemauanya terhadap masyarakat, tetapi seorang pemimpin adalah orang yang bisa mengayomi masyarakat, bisa memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat sebagaimana Firman Allah SWT:
واحـفض جنـاحك لمن اتبعـك من المؤمنين (الشعـراء : 215)
Artinya : Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dan kaum mukminin (Al-Syuara' : 215).

Seorang pemimpin wajib memiliki hati yang melayani atau akuntabilitas (accountable). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan kepada Allah kelak di akhirat nanti. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Oleh karena itu pemimpin mempunyi tanggung jawab yang sangat besar bagi bangsa ataupun organisasi yang dipimpin, baik itu di dunia ataupun di akhirat nanti.
Dalam Al-quran Surat Ash-Shoffat ayat 22 sampai 24 mengisyaratkan tentang pemimpin akan dimintai pertanggungan jawaban di akhirat nanti. Firman Allah SWT yang artinya: “(Kepada para malaikat diperintahkan): ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan ditanya (dimintai pertanggung jawaban).”
Terdapat sebuah riwayat tentang ungkapan Umar bin Khatab r.a mengenai besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti. Beliau r.a berkata “ Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad nicaya Umar akan dimintai pertanggung jawabannya, seraya ditanya: Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”
Dalil ini menggambarkan betapa sulitnya menjadi seorang pemimpin, sebab pemimpin harus mempertanggung jawabkan semua yang di pimpin. Dan seorang pemimpin akan di mintai pertanggungan jawab tentang semua perbuatan yang di pimpin dan pengaruh serta akibat dari perbuatan tersebut. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS Yaasiin: 12)
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuat oleh seseorang akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh, kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An-Nahl: 25 (yang artinya): “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”
Pada prinsipnya tanggung jawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 Surat Al-An’am (yang artinya): “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Demikian pula dalam Surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan (yang artinya): “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggung jawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas perilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang mukmin, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS At-Tahrim: 6) Sebagaimana juga ditegaskan oleh Rasululah saw: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, disamping seluruh apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan buruk nya perilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggung jawaban itu tersebut.
Dalam ajaran islam nasib yang akan dialami oleh para pemimpin yang tidak bertanggung jawab di antaranya Mereka tidak akan diterima shalatnya oleh Allah. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium bau surga itu. Pemimpin yang tidak bertanggungjawab itu diancam 2 kali lipat siksaan rakyat yang mereka pimpin.
Pemimpin yang bertanggung jawab harus dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya secara merata. Selain mewujudkan kemakmuran, pemimpin juga dituntut mampu berbuat adil dan merata di berbagai sektor kehidupan seperti keamanan, ekonomi, pembangunan, kesehatan, sumber daya manusia dan alam, dan juga pemerataan hasil-hasil pembangunan negara. Terlebih terhadap hukum dan perundang-undangan. Siapa pun yang terbukti bersalah sudah sepantasnya dihukum. Tak peduli ia dari golongan rakyat kecil, pejabat negara atau orang-orang yang memiliki kedudukan penting mendapat perlakuan yang sama.
Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran, karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah : 8).
Pemimpin yang adil merupakan orang yang paling dicintai Allah sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW : “Orang yang paling dicintai Allah pada hari Kiamat dan paling dekat tempat duduk daripadaNya adalah pemimpin yang adil, dan orang yang paling dibenci oleh Allah dan orang yang paling jauh daripadaNya adalah pemimpin yang menyeleweng.” (HR. Tirmidzi).
Setiap pemimpin negara pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Tak hanya oleh rakyat saja, tetapi juga dihadapan Tuhannya kelak. Konsekuensi demikian timbul saat ia mengucapkan janji atau sumpah pada acara pelantikan jabatan. Itu semua disaksikan oleh rakyat dan atas nama Tuhan dengan kitab suci, sesuai agama dan keyakinan yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar